jatuh bangun menggapai kesuksesan

 

Jatuh Bangun Menggapai Kesuksesan

Kesuksesan Tidak Cukup Waktu Instan

Mungkin banyak diantara kita yang berambisi ingin kaya sehingga mencari cara-cara yang instan. Walaupun dengan cara yang haram tetap saja diterjang.

Ada juga yang terjebak pada "Motivator Bisnis" dengan tema-tema menggiurkan semisal "Cara Cepat Menghasilkan Milyaran dalam Satu Bulan" sehingga banyak yang menjadi korban omong kosong motivator.

Saking semangatnya sehingga tidak berfikir untung rugi dibelakangnya. Diantaranya ada yang sudah terlanjur keluar kerja, dibela-belain menghutang kesana-kemari belum lagi utang Bank ribawi ternyata usahanya tidak sesuai yang diharapkan. Anak dan istripun menjadi korban.

Kalau kita hanya menangkap enaknya sebuah hidup sukses, tanpa melihat "proses" yang berdarah-darah bisa jadi akan kena getahnya.

Cobalah kita tengok kisah yang kemarin hari diposting di halaman Pengusaha Muslim Indonesia tentang kisah perjuangan seseorang yang membutuhkan proses tidak sebentar. Kisah ini akan merubah paradigma kita bahwasanya yang kita butuhkan adalah "proses kesuksesan" dan keistiqomahan. Saya  nukil kisahnya berikut ini:

Kisah ini didapatkan dari dialog seorang kawan. Kemudian diringkas dengan penataan bahasa agar mudah dipahami dan diambil pelajaran.

Dialah Abuanis Asyakirin (semoga Allah memberkahinya), beliau menceritakan sejarah memulai usaha….

Saya dari keluarga PNS Mas…dari kakek, bapak, paman, sampai adik-adik semua PNS.

Saat saya kerja di perusahaan swastapun, orang tua kurang suka, apalagi saat saya mau berdagang. Saya meyakinkan orangtua dan istri membutuhkan waktu 3 tahunan hingga mereka ngga' keberatan

Dulu.. lepas dari kerja (memberanikan mundur/setengah nekat) saya kelilingan jualan kopi pakai sepeda motor, awalnya mau nawarin ke toko ragu-ragu, malu kalau ditolak. Perasaan begini saya rasakan sekitar 6 bulanan, setelah itu jadi terbiasa.

Sempat jatuh-bangun, gonta-ganti dagangan, Alhamdulillah setelah 6 tahunan, saya punya karyawan dan beberapa usaha.

Dulu saya mengundurkan diri dari perusahaan setelah lama kerja 12 tahun dan mendapatkan pesangon 18 juta. Pesangon itu untuk dagang keliling, gonta-ganti dagangan, dan setelah keliling pakai motor selama 2 tahun malah uang pesangon saya habis ngga' ada sisa.

Tapi Alhamdulillah saat sudah ngga' ada uang itulah Allah Ta'ala menolong saya dengan menjadikan saya tidak ada rasa malu lagi kalau menawarkan dagangan, ngga' ada rasa gengsi nembung bon (menagih bon, penj) barang ke juragan, dan lebih semangat lagi dalam ikhtiar.

Saya mulai dagang keliling pakai motor tahun 2002, walaupun dagangan sendiri saya tetep mulai keliling seperti orang kerja di perusahaan, berangkat jam 08:00, istirahat pas sholat zhuhur dan 'Ashr, pulang ke rumah jam 17:00 sore. Mau hujan, kemarau, saat puasa pun tetap seperti itu.

Keliling seharian dapat untung 2600 perak, 5000 perak, saat awal dah biasa, disyukuri saja. Kalau sampai rumah tetap dengan wajah ceria. Jika istri bertanya “Gimana Bah ?”

Saya menjawab, "Alhamdulillah untung, nih buat belanja" (sambil kasihkan 30ribu). Padahal untung hari itu cuma 4000 perak, tapi istri ga' tahu, biar dia ga' sedih he..he.. yang sedih cukup saya saja dalam hati. Tinggal nunggu malam, mengadu sama Allah Ta'ala Sang Pemilik Kerajaan.

Akhirnya bisa punya usaha sendiri, dari dibantu 1 orang karyawan, 4 orang,13 orang, hingga mencapai 26 orang.

Jatuh – bangun pernah saya alami, mulai dari dicurangi karyawan (nilep uang), langganan kabur (ga bayar nota) sampe diingkari rekanan dan rugi 950 juta. Dan berjuang dari nol lagi.

Alhamdulillah punya keyakinan berprasangka baik terus kepada Allah Ta'ala dan jangan patah semangat, ikhtiar terus dengan ikhlas, kalaupun sementara belum ada hasil, asal ikhlas, insya Allah sudah dapat pahala.

Itulah nukilan kisahnya. Insya Allah kita akan terbuka mata bahwa kesuksesan itu butuh perjuangan dan istiqomah. Bayangkan, Abu Anis saja membutuhkan waktu 6 tahun untuk bisa mandiri dengan modal pesangon yang  lumayan besar dan itupun harus jatuh bangun.

Saatnya ubah persepsi kita bahwa yang kita butuhkan itu "proses dalam menuju kesuksesan"

 

Sumber.pengusahamuslim.com

 

mari berbisnis ekspor

 
Mari Berbisnis Ekspor

 

Oleh Bpk. Nursyamsu Mahyuddin

Tengok sekeliling Anda. Ada ribuan produk lokal yang menanti uluran tangan Anda untuk diekspor. Mulailah dari yang ada di depan Anda. Dan sekaranglah saat yang tepat untuk memulai bisnis ekspor, sebelum keduluan pihak lain.

Pengusaha eksportir telah membuktikan diri dapat survive dalam krisis yang mendera pada 1998 dan 2008. Data juga menunjukkan, negara yang memiliki surplus dalam neraca perdagangan ekspor-impornya dapat berkelit dari berbagai deraan krisis, dan terus bertumbuh. Pengusaha eksportir adalah pionir dan ujung tombak dalam membantu para produsen, perajin, petani, sector industri olahan dan industri kreatif, melakukan perluasan pasar.

Bisnis ekspor memerlukan modal relatif tidak besar. Namun menghasilkan devisa yang diperlukan negara. Bisnis ekspor membuka wawasan pelakunya  menjadi berwawasan global, membawa info selera konsumen di negeri lain ke para produsen di dalam negeri.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dikenalkan dengan bisnis ekspor dan bisnis antar-negara saat berusia 11 tahun. Yakni ketika mengikuti perjalanan bisnis paman beliau ke Negeri Syam (sekarang Suriah), yang jaraknya ribuan kilometer dari Mekkah, tanah kelahirannya. Sejak itu beliau terjun sebagai pelaku bisnis ekspor dan impor.

Hingga menikah dengan Khadijah radhiallahu ‘anha pada usia 25 tahun, beliau adalah pengusaha ekspor/impor yang andal  dengan wawasan bisnis antar-negara.

MEMULAI BISNIS EKSPOR SEKARANG, TEPATKAH?

Sejak 1 Januari 2010 telah diberlakukan ACFTA (Asean and China Free Trade Area) yang menyebabkan tidak ada lagi sekat perdagangan antar-negara di kawasan ASEAN dan China. Yang berarti perdagangan antar-negara di ASEAN dan China tidaklah berbeda dengan berdagang antar-pulau di dalam negeri. Semua mudah. Tanpa hambatan.

Sebagian dari kita mengeluhkan akibat pemberlakuan ACFTA negeri kita dibanjiri produk China. Padahal sesungguhnya kita juga memiliki kesempatan yang sama untuk menyerbu pasar China dan negara-negara ASEAN lainnya dengan produk Indonesia.

Tengoklah sekeliling Anda. Ada ribuan produk lokal yang menanti uluran tangan Anda untuk dipasarkan di pasar ekspor. Mulailah dari yang ada di depan Anda. Dan sekaranglah saat yang tepat untuk memulai bisnis ekspor, sebelum peluang yang ada di raih oleh pihak lain.

APA YANG DIEKSPOR?

Saat ini berbagai produk telah diekspor oleh pengusaha dan dari Indonesia. Berbagai produk kreatif dan kerajinan rakyat dari Bali dan Yogyakarta telah diekspor setiap hari. Pakaian jadi dari Pasar Tanah Abang, Jakarta, dan Pasar Baru, Bandung setiap hari juga diekspor ke berbagai negara. Kain, baju dan kerudung bordiran dari Tasikmalaya, Jawa Barat, atau dari Bukittinggi, Sumatera Barat, dapat kita temui di pasar tekstil di Bangkok, Hochiminh City dan di Kuala Lumpur. Radio dengan chasingkayu dari Jawa Tengah sudah menembus pasar negara maju. Pembuatnya sampai kewalahan melayani permintaan. Bahkan gagang sapu pun telah menembus pasar ekspor sejak dekade yang lalu. Alat tulis dan peralatan kantor buatan Indonesia sudah digunakan di kantor-kantor di Pakistan, Bangladesh dan Timur Tengah. Untuk hasil pertanian dan olahannya, Indonesia adalah pemain ekspor sejak lama. Tentu kita ingat, para penjajah Eropa datang ke bumi Indonesia lantaran kekayaan alam kita. Ekspor rempah-rempah dan minyak atsiri Indonesia nomor satu di dunia, hingga kini. Dan kini Indonesia telah menyalip Malaysia sebagai eksportir minyak sawit terbesar di dunia.

SIAPA YANG DAPAT MENJADI EKSPORTIR?

Siapa saja dapat menjadi eksportir. Tidak harus perusahaan yang berbadan hukum. Bahkan perorangan pun bisa. Asalkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), SIUP dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).

Tahukah Anda bahwa sebagian besar eksportir Indonesia adalah pengusaha mikro, kecil dan menengah? Justru sedikit perusahaan besar yang mengandalkan pasar ekspor, karena umumnya perusahaan besar di Indonesia justru menjadi besar hanya sebagai jago kandang.
Menjadi eksportir tidaklah harus sekaligus merangkap sebagai produsen.  Pada dasarnya eksportir adalah pemasar (marketer) yang mempertemukan potensi produk-produk dalam negeri di pasar global.

Niatkan, Anda-lah ujung tombak para produsen, perajin, dan petani. Milikilah wawasan global. Bawalah info selera konsumen di pasar luar negeri ke para produsen di dalam negeri.

BAGAIMANA MENGATASI KENDALA?

Keluhan utama untuk memulai bisnis ekspor adalah keterbatasan kemampuan berbahasa asing (khususnya bahasa Inggris). Kenyataannya, komunikasi utama dilakukan secara tertulis. Anda memiliki waktu cukup untuk dibantu oleh banyak program penerjemahan yang tersedia di internet. Tahukan Anda, bahwa banyak pelaku ekspor di China hanya menguasai bahasa Inggris sangat terbatas?

Kendala berikutnya ketidaktahuan bentuk komunikasi dalam bisnis ekspor. Mulai dari surat perkenalan, penawaran, pesanan hingga kontrak penjualan. Padahal semuanya kini tersedia sampai contoh-contohnya, yang disediakan secara gratis di internet. Tinggal dicopy, kemudian paste, selesai.

BAGAIMANA MENCARI PEMBELI DI PASAR EKSPOR?

Situs web, blogdan toko onlinemenjadi alat utama yang sangat murah untuk menjaring pembeli. Tetapkan produk andalan Anda. Kemudian bidiklah negara-negara yang menjadi tujuan ekspor Anda. Daftarkan web Anda di sebanyak mungkin portal bisnis di negara tujuan ekspor. Baik portal bisnis internasional maupun lokal negara setempat. Search sebanyak mungkin perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang diperkirakan membutuhkan produk Anda.

Siapkan berbagai kelengkapannya, selayaknya Anda mempersiapkan persenjataan untuk sebuah pertempuran. “Persenjataan” tersebut antara lain website,atau sekurangnya blog. Lebih baik jika dapat membuat toko online dengan target pasar internasional. Siapkan pula leaflet, brosur dan katalog (tidak perlu dicetak, cukup dalam filedigital) yang memudahkan calon pembeli mengenal Anda dan produk Anda.
Yang juga penting, siapkan sampel  produk dan kemasannya. Dan siapkan  perhitungan harga jual dengan berbagai variasi negara tujuan dan volume ekspor. Dengan “persenjataan” tersebut, jadikan Anda siap memasuki medan “pertempuran” yang nyata.

Rumus yang umum digunakan adalah tawarkan produk Anda kepada 100 perusahaan. Dari 100 perusahaan tersebut, akan ada lima perusahaan yang berminat dan ada satu perusahaan yang akan membeli produk Anda. Jika Anda ingin memiliki 10 pembeli, tawarkanlah produk Anda kepada 1.000 perusahaan.

Jangan sia-siakan sekiranya telah ada calon pembeli yang berminat. Segera giring untuk menghasilkan kesepakatan tertulis.

 

terpaksa menjual ke pemberi hutang

 
Terpaksa Menjual karena Diberi Modal

 

Konsultasi Syariah Bersama Asatidz Pengasuh Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Pertanyaan:

Assalamu alaikum,

Kampung saya pesisir pantai. Banyak penduduknya yang beprofesi sebagai nelayan lokal. Banyak di antara nelayan tidak memiliki dana untuk pengadaan peralatan mencari ikan, seperti mesin, jarring, atau lainnya. Biasanya mereka meminjam uang untuk pengadaan alat ke juragan penjual ikan (baca: daokeh), dengan konsekuensi mereka harus menjual hasil melautnya kepada orang yang meminjami uang. Dan biasanya, harga jual di juragan sedikit lebih murah dibandingkan harga di pasar. Sementara hutangnya dilunasi secara berangsur tanpa ada penambahan uang yang dipinjam (bunga). Terkadang, setelah pelunasan tahap terakhir, sang juragan memberi potongan. Misalnya hutang Rp.  5 juta, dipotong menjadi Rp. 4,5 juta.

Bagaimana kasus ini dalam pandangan Islam… jazaakumullah khoiran..

Abu Yumna, Lamongan

Jawaban :

Syariat Islam tegak di atas keadilan dan melarang kezhaliman. Sehingga semua bentuk kezaliman dilarang dalam Islam. Juga dalam hubungan antara manusia khususnya jual beli tegak diatas sikap sama-sama ridho dan tidak ada paksaan. Oleh karena itu Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS an-Nisaa :29)

Oleh karena itu syariat islam melarang jual beli terpaksa (Bay’ Mudh-Thar) karena salah satu pihak terpaksa menjual atau membelinya karena terdesak. Nah kejadian yang Saudara tanyakan adalah satu dari sekian kejadian dan sistim pengambilan keuntungan yang banyak dilakukan kaum muslimin terhadap saudaranya sendiri. Kalau melihat kepada keterangan Saudara dalam pertanyaan di atas dapat ditarik adanya dua hal:

  1. Peminjaman uang tanpa bunga namun mengikat orang yang diberi hutang untuk memberi keuntungan kepada pemberi hutang berupa harga di bawah harga umum.
  2. Nelayan atau orang yang berhutang terpaksa menjual barangnya kepada pemberi hutang karena merasa terdesak menerima hutangan tersebut untuk menutupi kebutuhannya.

Dari dua hal ini dapat diambil hukum sebagai berikut:

A. Sistim menghutangkan uang seperti ini termasuk yang dilarang, karena pemberi hutang mengambil keuntungan dari hutangnya dengan ikatan jual beli yang menguntungkannya. Seandainya tidak karena ingin mendapatkan harga di bawah standar umum tentulah ia tidak menghutangkan uangnya tersebut. Hal ini masuk dalam kaidah fikih yang disampaikan para ulama dengan ungkapan:

“Semua hutang piutang yang mengharuskan keuntungan maka ia adalah riba”

Sebab dalam akad hutang piutang adalah akad sosial nirlaba dimaksudkan untuk menolong dan memudahkan kesulitan saudaranya, sehingga dilarang mengambil keuntungan sebagai imbalan yang disyaratkan dalam hutang tersebut.

B. Seandainya dianggap hal itu sebagai pembayaran dimuka untuk mendapatkan barang pada tempo tertentu yang dikenal dengan bay’ salam, maka sistim jual beli yang Saudara tanyakan banyak menyimpang dari sistim tersebut. Di antara pelanggarannya adalah:

  1. Dalam bay’ salam barang yang diinginkan hanya disampaikan kriteria dan aspeknya saja, sedang barangnya terserah kepada penjualnya, apakah diambil dari hasil panennya atau dari orang lain. Di sini tidak.
  2. Dalam bay’ salam nilai pembayaran dan jumlah barang sudah ditentukan di majlis akad transaksi, sedangkan di sini adanya setelah barang ada.
  3. Akad yang disampaikan adlah hutang piutang bukan jual beli.

Dengan demikian jelaslah hal ini bukan termasuk jual beli salam yang diperbolehkan dalam Islam.

Nampaknya dari dua sisi kemungkinan ini semuanya menunjukkan adanya pelanggaran syariat, baik sebagai hutang piutang maupun sebagai jual beli. Semua ini tidak lain hanyalah upaya dari juragan pemilik modal (baca: daokeh) untuk memancing diair keruh sehingga nelayan dengan terpaksa menjual ikannya kepada dia dengan harga sesuai kemauan juragan tersebut. Ini jelas termasuk jual beli karena terpaksa.

Syeikh DR. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar seorang pakar ekonomi Islam dunia menyatakan: “Namun perlu diingat adanya usaha sebagian orang kaya pemilik modal yang memancing ikan diair keruh ketika kesempitan dan kebutuhan mendesak para petani atau pengusaha industri kepada modal cepat. Lalu menjadikan jual beli salam sebagai sarana menekan harga hingga sangat rendah sekali. Seandaianya bukan karena kebutuhan tersebut tentulah mereka menolak uluran modal tersebut. Ini tidak benar dan dilarang karena masuk dalam bai’ al-Mudhthar (jual beli dalam keadaan terdesak)”[1]. Wallahua’lam bish-Shawaab.

Ket:
[1] Buhuts Fiqhiyah Fi Qadhayaa iqtishadiyah Mu’asharah 1/189-190.

Dijawab oleh ustadz Kholid Syamhudi. Lc

Artikel www.PengusahaMuslim.com

 

perniagaan yang di larang (materi kajian KPMI pusat

Perniagaan Yang Dilarang Oleh Nabi (Materi Kajian KPMI Pusat)

 

Oleh: Ustadz Aris Munadar, M.PI. *

Syariat melarang sejumlah perniagaan yang menyebabkan terlantarnya hal yang lebih urgen semisal perniagaan yang menghalangi seseorang untuk bisa melaksanakan ibadah yang hukumnya wajib. Demikian pula syariat melarang perniagaan yang merugikan orang lain.

Diantara perniagaan yang terlarang adalah:

Pertama, jual beli setelah adzan Jumat

Tidaklah sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang yang berkewajiban untuk melaksanakan ibadah Jumat setelah adzan berkumandang mengingat firman Allah,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Yang artinya, "Wahai orang orang yang beriman jika adzan shalat Jumat sudah berkumandang hendaknya kalian bersegera mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Itu yang lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya" [QS al Jumuah:9].

Dalam ayat di atas Allah melarang mengadakan transaksi jual beli setelah adzan shalat Jumat dikumandangkan. Adanya larang menunjukkan haramnya hal yang dilarang sehingga jual beli yang terjadi tidaklah sah.

Kedua, memperdagangkan barang kepada pihak yang akan memanfaatkannya untuk bermaksiat kepada Allah atau menggunakannya dalam hal hal yang haram.

Sehingga tidaklah sah transaksi menjual anggur kepada orang yang akan membuat khamr dengannya, menjual botol kepada orang akan menggunakannya untuk minum khamr atau senjata saat terjadi perang saudara diantara kaum muslimin

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Yang artinya, "Dan hendaknya kalian tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan melampaui batas" [QS al Maidah:2].

Ketiga, 'jualan' atas 'jualan' orang lain

Misalnya kita temui seorang pembeli yang membeli suatu barang dengan harga sepuluh ribu rupiah lalu kita sampaikan kepadanya bahwa kita bisa menjual yang sekelas dengan barang yang dia beli namun dengan harga yang lebih murah atau kita punya barang dengan kualitas yang lebih bagus dengan harga yang sama yaitu sepuluh ribu. Hal ini terlarang mengingat hadits berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ

Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah bersabda, "Tidak boleh sebagian kalian menjual atas jualan orang lain atau membeli atas belian orang lain" [HR Bukhari dan Muslim].

Termasuk yang dilarang dalam hadits di atas adalah membeli atas 'belian' orang lain. Yang dimaksudkan adalah kita datangi penjual setelah ada kesepakatan harga antara penjual dengan pembeli lalu kita minta dia agar membatalkan transaksi jual beli yang telah terjadi dan kita bersedia untuk membeli barang tersebut dengan harga yang lebih mahal.

Keempat, jual beli 'inah

Gambaran kasus 'inah adalah kita menjual HP kepada A dengan harga 1,5 juta yang akan dibayar tiga bulan yang akan datang. Setelah HP ada di tangan A kita katakan kepadanya 'Kubeli kembali HP tersebut seharga 1 juta secara tunai'. Wal hasil, A mendapatkan uang tunai sebesar 1 juta namun tiga bulan yang akan datang dia berkewajiban untuk menyerahkan uang sebesar 1,5 juta kepada saya.

'inah dalam hal ini diambil dari kata-kata 'ain yang dalam bahasa arab salah satu maknanya adalah uang tunai. Transaksi semisal di atas disebut 'inah karena pembeli yang semula memegang barang beralih menjadi pemegang uang tunai.

Transaksi ini dilarang karena transaksi ini adalah cara licik untuk bisa melakukan transaksi riba secara terselubung.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ ».

Dari Ibnu Umar, aku mendengar Rasulullah bersabda, "Jika kalian melakukan transaksi inah, memegangi ekor ekor onta, merasa puas dengan pertanian dan meninggalkan jihad maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian yang tidak akan Allah cabut sampai kalian kembali kepada agama kalian" [HR Abu Daud].

Tidak termasuk jual beli 'inah yang terlarang manaka kita beli kembali barang tersebut setelah kita menerima uang pelunasan dari pembeli, atau setelah bentuk barang berubah atau kita beli kembali barang tersebut namun tidak dari pihak yang membelinya dari kita [Mukhtashar al Fiqh al Islami hal 704].

Kelima, menjual kembali barang sebelum ada serah terima [qabdh atau muqobadhah]

Misalnya kita kulakan suatu barang dari A lantas kita menjual barang tersebut sebelum ada serah terima barang antara A dengan kita.

« مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ »

Nabi bersabda, "Siapa saja yang membeli makanan atau bahan makanan maka janganlah dia menjual kembali sampai ada qabdh" [HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar].

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى تَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ.

Sesungguhnya Rasulullah melarang transaksi penjualan kembali barang dagangan di tempat terjadinya kulakan hingga para padagang membawa barang kulakannya ke kendaraan mereka masing masing [HR Abu Daud].

Menimbang dua hadits di atas maka tidak boleh bagi orang yang membeli suatu barang menjual kembali barang yang dia beli sampai terjadi qabdh sempurna [baca: qabdh dengan tindakan nyata].

Ada beberapa penjelasan mengenai tolak ukur qobdh:

Pertama, untuk aktiva tetap semisal rumah tolak ukur qabdh adalah manakala rumah tersebut sudah dikosongkan oleh pemiliknya [takhliyah] lalu kunci diserahkan kepada pembeli. Untuk aktiva bergerak yang berat semisal kapal adalah dengan dipindahnya barang dari tempatnya. Sedangkan untuk aktiva bergerak yang ringan adalah manakala penjual meletakkan barang yang telah dibeli di hadapan pembeli yang seandainya pembeli mengulurkan tangannya maka dia bisa mengambil barang tersebut [Majid Hamawi dalam ta'liq beliau untuk Matan Taqrib hal 156].

Kedua, untuk aktiva tetap qabdh itu dengan takhliyah [pengosongan] sehingga pembeli memungkinkan untuk memanfaatkan barang tersebut sebagaimana yang menjadi maksud hatinya ketika membeli barang tersebut semisal menanami lahan pertanian, menempati rumah, bernaung dengan pohon atau memetik buahnya dll.

Untuk aktiva bergerak semisal bahan makanan, pakaian hewan dan semisalnya maka ketentuannya sebagai berikut:

memastikan kadar takaran atau timbangan barang yang dibeli jika barang tersebut kadarnya bisa diketahui memindah barang tersebut dari tempatnya semula jika jual beli dengan cara taksiran mengacu kepada hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat untuk selain dua jenis barang di atas.

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ كُنْتُ أَبِيعُ التَّمْرَ فِي السُّوقِ فَأَقُولُ كِلْتُ فِي وَسْقِي هَذَا كَذَا فَأَدْفَعُ أَوْسَاقَ التَّمْرِ بِكَيْلِهِ وَآخُذُ شِفِّي فَدَخَلَنِي مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِذَا سَمَّيْتَ الْكَيْلَ فَكِلْهُ

Dari Utsman, aku berjualan korma di pasar. Ketika berjualan kukatakan, "Telah kutakar korma ini dengan takaranku seberat sekian". Korma tersebut lantas kuserahkan dan aku pun mengambil keuntungannya. Namun muncul keraguan di dalam hatiku tentang kehalalan transaksi semisal itu sehingga hal ini kutanyakan kepada Rasulullah. Jawaban beliau, "Jika engkau menyebutkan besaran takaran maka takarlah" [HR Ibnu Majah, shahih].

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جُزَافاً فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ.

Dari Ibnu Umar, kami membeli bahan makanan dari pedagang yang datang dari luar Madinah dengan cara taksiran maka Rasulullah melarang kami untuk menjual yang telah kami beli hingga kami memindahnya dari tempatnya [HR Muslim dan Ahmad].

Denga uraian di atas berarti kita telah mengambilkan dalil dan mengacu kepada 'urf [aturan tidak tertulis di masyarakat] sebagai tolak ukur qabdh barang barang yang tidak ada dalil khusus mengenai tolak ukur qabdhnya [Sayid Sabiq dalam Fikih Sunnah jilid 3 hal 138-139].

Keenam, menjual produk pertanian sebelum layak dikomsumsi

Tidak boleh menjual produk pertanian sebelum layak untuk dikomsumsi karena khawatir terjadinya gagal panen atau hasil pertanian tersebut cacat sebelum dipanen.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تُزْهِىَ . فَقِيلَ لَهُ وَمَا تُزْهِى قَالَ حَتَّى تَحْمَرَّ . فَقَالَ « أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ ، بِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ »

Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasulullah melarang menjual hasil pertanian hingga layak dikomsumsi. Ada yang bertanya, " Apa yang dimaksud dengan layak dikomsumsi". "Sudah mulai memerah", jawab Nabi.

Nabi bersabda, "Apa pendapatmu jika ternyata Allah tidak menghendaki adanya panen, dengan alasan apa kalian ambil harta saudaranya?" [HR Bukhari dan Muslim].

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا ، نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ

Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah melarang menjual hasil pertanian hingga layak dikomsumsi. Nabi larang penjual sekaligus pembelinya [HR Bukhari dan Muslim].

Tolak ukur layak untuk dikomsumsi adalah untuk korma manakala sudah berwarna merah atau minimal menguning, untuk anggur sudah menghitam dan terasa manis sedangkan untuk biji bijian maka jika sudah keras dan mongering dan seterusnya.

Ketujuh, jual beli najasy

Itulah menawar dengan harga yang lebih tinggi atas barang yang ditawarkan yang dilakukan oleh orang yang tidak ingin membelinya. Orang tersebut menawar dengan tujuan untuk memperdaya orang lain dan memotivasi agar orang tersebut membelinya dengan harga yang lebih tinggi.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّجْشِ

Dari Ibnu Umar, Nabi melarang jual beli najasy [HR Bukhari dan Muslim].

Di samping bentuk najasy di atas ada beberapa hal lain yang tergolong najasy diantaranya:

orang yang tidak ingin membeli suatu barang pura pura menampakkan kekaguman dan mengetahui seluk beluk barang yang sedang ditawar serta memuji muji barang tersebut kepada selain calon pembeli agar harga barang tersebut naik.
pemilik barang atau yang mewakilinya secara dusta mengaku aku bahwa barangnya telah ditawar dengan harga sekian untuk menipu orang yang sedang menawar.

termasuk najasy kontemporer adalah memanfaatkan berbagai media massa untuk menyebutkan gambaran muluk muluk suatu produk yang sama sekali tidak sesuai dengan realita untuk memperdaya pembeli dan mendorongnya untuk membeli produk tersebut [Taudhih al Ahkam min Bulugh al Maram juz 4 hal 360].

Kedelapan, jual beli barang yang haram dikomsumsi dan atau dimanfaatkan semisal jual beli khamr, babi dan patung.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ – رضى الله عنهما – أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ ، وَهُوَ بِمَكَّةَ « إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ »

Dari Jabir bin Abdillah, beliau mendengar sabda Nabi di Mekah saat penaklukan kota Mekah,"Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung" [HR Bukhari dan Muslim].

وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ ثَمَنَهُ

"Sesungguhnya Allah itu jika mengharamkan untuk mengkomsumsi sesuatu maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya" [HR Ahmad dari Ibnu Abbas, sanadnya shahih].

Demikian pula terlarang jual beli habalul habalah [jual beli sesuatu yang belum ada atau jual beli yang tidak jelas waktu jatuh tempo pelunasan harga barang], jual beli janin, jual beli air yang sudah berlebih dari kebutuhan seseorang, jual beli sperma dan jual beli anjing dan kucing.

وَعَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ قَالَ : سَأَلْت جَابِرًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ ثَمَنِ السِّنَّوْرِ وَالْكَلْبِ فَقَالَ : زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ

Dari Abu Zubair, aku bertanya kepada Jabir mengenai hasil penjualan kucing dan anjing. Jawaban beliau "Nabi melarang keras hal tersebut" [HR Muslim].

عن جَابِر بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ ضِرَابِ الْجَمَلِ وَعَنْ بَيْعِ الْمَاءِ وَالأَرْضِ لِتُحْرَثَ. فَعَنْ ذَلِكَ نَهَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-.

Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah melarang jual beli sperma pejantan, jual beli air dan menyewakan lahan pertanian dengan bagi hasil yang curang [HR Muslim].

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ

Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah melarang jual beli habalul habalah [HR Bukhari dan Muslim].

Demikian pula dengan antara jual beli yang terlarang adalah jual beli yang disebutkan dalam hadits berikut ini:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَعَنْ شَرْطَيْنِ فِي بَيْعٍ وَاحِدٍ وَعَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ وَعَنْ رِبْحِ مَا لَمْ يُضْمَنْ

Dari 'Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, Abdullah bin Amr bin al Ash, Rasulullah melarang utang piutang yang bercampur dengan jual beli, jual beli 'inah, menjual barang yang tidak dimiliki dan keuntungan tanpa ada kemungkinan untuk rugi [HR Abu Daud dll, hasan shahih].
————————- 

* Materi di atas disampaikan dalam acara kajian rutin sebulan sekali KPMI Pusat yang diadakan pada hari Ahad 30 September 2012 di Masjid Nurul Iman, Blok M Square Lantai 7 Jl. Melawai V Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Artikel www.PengusahaMuslim.com

 

bekal ilmu pedagang online

Bekal Ilmu Pedagang Online

 

Berikut ini adalah beberapa kaedah mendasar yang perlu diketahui oleh pedagang online

Pertama, pengertian akad jual beli

Terjadinya ijab qabul [deal kesepakatan] antara penjual dan pembeli untuk menjual dan membeli barang maka itulah transaksi jual beli meski uang atau barang belum diserahterimakan.

Kedua, ada barang atau ada uang

Akad atau transaksi jual beli yang dibolehkan dalam syariat Islam itu cuma ada tiga macam 1) ada uang ada barang 2) uang duluan barang belakangan 3) uang belakangan barang duluan.

Sehingga model transaksi uang belakangan barang juga belakangan, cuma akad atau transaksi duluan adalah suatu hal yang terlarang. Model transaksi semacam ini disebut dengan jual beli utang dengan utang. Transaksi ini dilarang dikarenakan tergolong bai' ma'dum bil ma'dum, jual beli atau tukar menukar sesuatu yang belum ada dengan yang sesuatu yang juga belum ada.

وإنما ورد النهي عن بيع الكالىء بالكالىء والكالىء هو المؤخر الذي لم يقبض كما لو أسلم شيئا في شيء في الذمة وكلاهما مؤخر فهذا لا يجوز بالاتفاق

Ibnul Qayyim mengatakan, "Terdapat hadits yang melarang akad atau transaksi kali' bil kali'. Yang dimaksud dengan kali' adalah sesuatu yang tertunda, belum diserahterimakan. Contohnya adalah seorang yang pesan barang dengan pembayaran yang tertunda artinya uang dan barang sama sama belakangan. Ini adalah transaksi yang tidak diperbolehkan dengan sepakat ulama" [I’lam Muwaqqi’in 2/8].

Ketiga, syarat menjual kembali barang hasil kulakan

Kita tidak diperkenankan menjual suatu barang sampai memenuhi dua kriteria, 1) kita telah memilikinya 2) kita telah melakukan serah terima dengan pemilik pertama. Sehingga barang tersebut seratus persen telah menjadi tanggung jawab kita.

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ سَلَفٍ وَبَيْعٍ وَعَنْ شَرْطَيْنِ فِي بَيْعٍ وَاحِدٍ وَعَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ وَعَنْ رِبْحِ مَا لَمْ يُضْمَنْ

Dari 'Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, Abdullah bin Amr bin al Ash, Rasulullah melarang utang piutang yang bercampur dengan jual beli, jual beli 'inah, menjual barang yang tidak dimiliki dan keuntungan tanpa ada kemungkinan untuk rugi [HR Abu Daud dll, hasan shahih].

« مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ »

Nabi bersabda, "Siapa saja yang membeli makanan atau bahan makanan maka janganlah dia menjual kembali sampai ada qabdh"[HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar].

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى تَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ.

Sesungguhnya Rasulullah melarang transaksi penjualan kembali barang dagangan di tempat terjadinya kulakan hingga para padagang membawa barang kulakannya ke kendaraan mereka masing masing [HR Abu Daud].

Ada tiga alasan mengapa menjual barang sebelum ada serah terima dengan pemilik pertama dilarang.

Pertama, menimbulkan ganjalan hati pada diri pemilik pertama. Hal ini terjadi manakala dia lihat kita bisa menjual kembali barang tersebut dengan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang dia dapatkan dalam kondisi barang masih ada di tempatnya.

Kedua, adanya keuntungan tanpa ada kemungkinan sedikit pun untuk merugi dan keuntungan semacam ini adalah suatu hal yang dilarang oleh Nabi.

Ketiga, ada unsur riba sebagaimana alasan yang disampaikan oleh Ibnu Abbas

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ ». فَقُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَقَالَ أَلاَ تَرَاهُمْ يَتَبَايَعُونَ بِالذَّهَبِ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia benar-benar menakarnya.” Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas tentang mengapa hal tersebut dilarang. Jawaban Ibnu Abbas, “Yang demikian itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual uang dengan uang, sedangkan bahan makanannya ditunda (sekadar kedok belaka).” (HR Bukhari no 2025 dan Muslim no 3916).

Tentang maksud perkataan Ibnu Abbas ini, Dr Musthofa Dib Bugha mengatakan,

تقديره أن يشتري من إنسان طعاما بدرهم إلى أجل فإذا باعه منه أو من غيره بدرهمين مثلا قبل أن يقبضه فلا يجوز لأنه في التقدير بيع درهم بدرهم والطعام غائب كأنه باعه درهمه الذي اشترى به الطعام بدرهمين وهو ربا لا يجوز .

"Maksudnya ada seorang yang membeli bahan makanan dari A seharga satu dirham namun uang pembayarannya nanti. Jika bahan makanan tersebut dijual kembali dengan seharga dua dirham sebelum ada serah terima barang dari A maka ini adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan karena hal tersebut semakna dengan transaksi uang ditukar dengan uang dan barang makanan yang diperjualbelikan tidak ada. Seakan akan orang tersebut menjual uang satu dirham yang dia pakai untuk membeli bahan makanan dengan dua dirham dan ini adalah riba yang tentu saja tidak diperbolehkan".

Keempat, barang yang dijual harus jelas identifikasinya

Diantara syarat sahnya transaksi jual beli adalah barang yang diperjualbelikan harus diketahui identifikasinya (ma'lum tidak majhul).

Terkait dengan hal ini jual beli bisa dibagi menjadi beberapa kategori:

Pertama, jual beli barang yang teridentifikasi dengan cara dilihat dan diamati. Hukumnya tentu saja boleh.

Kedua, jual beli barang yang diidentifaksi dengan deskripsi dan penggambaran (ba'I maushuf). Jual beli jenis ini bisa dibagi menjadi dua.

barang yang dimaksudkan barang tertentu yang sudah jelas. Jual beli semacam ini diperbolehkan dan ada hak khiyar (membatalkan transaksi atau meneruskannya) saat barang tersebut dilihat namun ternyata tidak sesuai dengan deskripsi yang telah diberikan oleh pembeli menurut pendapat yang paling kuat (tiga imam mazhab selain Syafii, Ta'liq Majid Hamawi untuk Matan Taqrib hal 154).
Barang yang dimaksudkan bukanlah barang tertentu namun barang yang memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata lain yang dijual adalah kriteria barang. Transaksi semacam ini disebut transaksi salam dan hukumnya boleh selama syarat syaratnya terpenuhi dengan baik.
Ketiga, jual beli barang tertentu namun saat transaksi pembeli belum melihatnya juga belum mendapatkan deskripsi tentangnya namun ada hak khiyar saat pembeli telah melihat barang tersebut secara langsung. Jual beli semacam ini dilarang oleh Hanabilah dan Syafiiyyah namun diperbolehkan oleh Hanafiyah, Malikiyyah dan Ibnu Taimiyyah [Ighatsah al Jumu’ bi Tarjihat Ibni Utsaimin fil Buyu’ hal 80-81].

أن عثمان وطلحة رضي الله عنهما تبايعا مالا بالكوفة فقال عثمان لي الخيار لأني بعت ما لم أر وقال طلحة لي الخيار لأني إبتعت ما لم أر فحكما رضي الله عنهما بينهما جبير بن مطعم فقضى الخيار لطلحة ولا خيار لعثمان رضي الله عنه

"Utsman dan Thalhah memperjualbelikan sesuatu yang berada di Kufah. Utsman mengatakan, 'Aku punya hak khiyar karena aku menjual sesuatu yang belum aku lihat'. Thalhah mengatakan, 'Aku punya hak khiyar karena aku membeli sesuatu yang belum aku lihat'. Mereka berdua lantas meminta Jubair bin Muth'im sebagai penengah perselisihan yang terjadi diantara keduanya. Jubair lantas memutuskan bahwa hak khiyar itu hanya dimiliki oleh Thalhah dan tidak dipunyai oleh Utsman" [Syarh Ma’ani Atsar karya Thahawi 4/361].

Insya allah pendapat yang kedua dalam hal ini adalah pendapat yang lebih kuat.

Kelima, syarat sah transaksi salam

Salam adalah transaksi jual beli uang duluan barang belakangan dan yang dijual adalah kriteria bukan barang tertentu.

Transaksi salam adalah transaksi yang sah manakala tujuh syaratnya terpenuhi:

barang yang dijual adalah barang yang jelas dengan sekedar deskripsi
barang dideskripsikan secara detail
disebutkan kadar barang (takaran, timbangan atau ukuran)
ada batas waktu yang jelas penyerahan barang
barang yang dipesan bukanlah barang yang langka di pasaran pada waktu yang dijanjikan
penjual menerima lunas uang pembayaran di majelis transaksi
objek transaksi adalah kriteria bukan barang tertentu [Fiqh wa Fatawa al Buyu’ hal 419].

Keenam, syarat sah murabahah

Transaksi murabahah lil amir bis syira' atau yang tepat disebut dengan akad muwa'adah adalah janji calon pembeli untuk membeli suatu barang manakala barang tersebut telah menjadi milik penjual dan janji calon penjual untuk menjual suatu barang tertentu kepada calon pembeli manaka dia telah memiliki barang yang dimaksudkan.

Transaksi ini diperbolehkan dengan syarat:

Hendaknya praktek yang dilakukan terbebas dari adanya kewajiban untuk menunaikan akad – baik secara tertulis maupun lisan- antara kedua belah pihak sebelum barang dimiliki dan diserahterimakan kepada penjual kedua.
Pemesan terbebas dari kewajiban untuk menanggung kerugian apabila terjadi kerusakan pada barang.
Akad jual beli tidak boleh dilaksanakan kecuali setelah penjual memiliki barang tersebut dan barang tersebut telah berpindah tangan ke pihak penjual [Fiqh Nawazil jilid 2 karya Syaikh Bakr Abu Zaid].

Ketujuh, Tidak boleh jual beli emas secara online

Emas dan perak tidak boleh diperjualbelikan secara online karena syarat mutlak yang harus terpenuhi dalam tukar menukar emas atau perak dengan uang yaitu serah terima barang secara fisik di majelis transaksi dan ini adalah suatu hal yang tidak mungkin bisa diwujudkan dalam transaksi online.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ ».

Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah bersabda, "Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum syair ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam ditukar dengan garam maka timbangan atau takarannya harus sama dan serah terima terjadi di majelis transaksi. Namun jika benda ribawi yang dipertukarkan itu berbeda maka silahkan tukarkan sesuka anda (takaran atau timbangan boleh beda) namun serah terima harus terjadi di majelis transaksi" [HR Muslim no 4147].

Kedelapan, terdapat perbedaan ketentuan antara penjual yang sekaligus produsen, agen resmi, penjual yang memiliki barang dan penjual yang tidak memiliki barang alias sekedar jualan dengan katalog dan gambar.

Artikel www.PengusahaMuslim.com